Kamis, 03 April 2014

Mengenal Masjid Jami Zaman Belanda

Letaknya yang strategis, menjadikan Masjid Jami Matraman di Jalan Mataram, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat tidak pernah sepi dari pengunjung yang ingin salat. Terlebih saat Ramadan, berbagai kegiatan sudah disiapkan untuk menghidupkan suasana ibadah dalam masjid.

Sebelum menjadi masjid agung pertama dan dipugar pada kurun 1955-1960 dan dilanjutkan tahun 1977, Masjid JamiMatramanawalnya merupakan gubuk kecil yang dibangun pasukan Sultan Agung selama menyerang pasukan Belanda. Ada dua fungsi utama gubuk tersebut, sebagai tempat salat dan penyusunan strategi perang.


Pembangunan gubuk tersebut membutuhkan perjuangan, mengingat lokasi yang strategis. Sultan Agung bersama pasukannya harus berperang merebut dari tangan Belanda. Dahulunya, lokasi tersebut dimanfaatkan Belanda sebagai kandang burung karena sebagian pasukan Belanda gemar memelihara Burung.

Keberadaan gubuk tersebut tidak berlangsung lama, Setelah bala bantuan Mataram bertambah, akhirnya Sultan Agung memutuskan meminta bantuan kepada salah satu keluarga Sunan Kalijaga untuk membongkar gubuk dan menggantinya dengan bangunan permanen. Pembangunan masjid permanen juga diikuti dengan penambahan fungsi masjid sebagai benteng pertahanan dan pos komando.

Dalam pertempuran melawan tentara Belanda, prajurit Mataram kalah telak. berbagai strategi dikerahkan, namun karena kalah jumlah dan persenjataan Belanda yang lebih modern, membuat pasukan Mataram harus pulang dengan tangan kosong.

Namun kekalahan prajurit Mataram tidak mengubah kondisi dan fungsi Masjid Jami Matraman waktu itu. Dalam buku ensiklopedi Jakarta yang disusun yayasan untuk Indonesia dijelaskan, pada tahun 1930 Masjid Jami dibangun kembali oleh sekelompok warga Matraman yang diketuai arsitek dari Ambon bernama Nyai Patiloy. Bahkan H Agus Salim juga pernah tercatat ikut campur dalam pembangunan masjid.

Belanda yang semula tidak mempermasalahkan lokasi masjid, tiba-tiba memprotes pembangunan masjid dan tidak setuju jika masjid tetap berada di pinggir jalan raya. Mereka khawatir jika nantinya peran masjid beralih fungsi sebagai markas untuk menyerang seperti pada kejadian sebelumnya.

Bahkan Belanda tidak segan untuk menawarkan bantuan sebesar 10 ribu gulden, jika umat Islam waktu itu bersedia membongkar masjid dan membangun kembali di lokasi berbeda. Permasalahan ini mendatangkan protes dari tokoh Islam terkemuka waktu itu, Namun akhirnya niat Belanda tidak terwujud.

Saat perjuangan merebut tanah air dari Belanda, Masjid Jami juga berperan besar sebagai tempat berkumpulnya para pejuang. Bahkan Saat Mohammad Hatta meninggal dunia, jenazahnya juga disemayamkan di masjid Jami Mataram.

Kini masjid JamiMatramansudah mengalami peremajaan, dan penambahan jumlah bangunan menjadi dua lantai. penambahan tersebut untuk menunjang keperluan pendidikan Islam warga Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar